Jumat, 01 April 2011

Nasional: Inflasi Penyakit Endemik Ekonomi Indonesia

Inflasi Penyakit Endemik Ekonomi Indonesia

Bukan fenomena moneter, demikian penjelasan Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution di Jakarta, awal januari lalu terkait laju inflasi tahunan (year on year) pada bulan Desember 2010. Meski angka inflasi berada di atas laju pertumbuhan ekonomi, namun BI belum merespon inflasi yang mencapai level 6,96%. Kebijakan BI tersebut menuai tanggapan negatif dari pasar, rupiah melorot ke level Rp. 9.144 per dolar AS.

Inflasi merupakan proses meningkatnya harga secara terus menerus. Inflasi juga diartikan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinyu. Inflasi timbul karena ada tekanan dari sisi suplai (cost push inflation), permintaan (demand pull inflation) dan ekspektasi inflasi.

Dalam pembangunan ekonomi, inflasi menjadi parameter pertumbuhan. Apabila inflasi ringan dan berada dibawah laju pertumbuhan ekonomi, inflasi punya pengaruh positif dalam perekonomian, yaitu meningkatkan pendapatan nasional yang membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi. Sebaliknya, jika inflasi tak terkendali (hiperinflasi), kondisi ekonomi menjadi kacau dan lesu. Hiperinflasi bisa mengakibatkan berkurangnya investasi, mendorong kenaikan suku bunga, penanaman modal yang bersifat spekulatif, kegagalan pelaksanaan pembangunan, ketidakstabilan ekonomi, defisit neraca pembayaran dan merosotnya kesejahteraan rakyat.

Inflasi di Indonesia bak penyakit endemik yang mengakar dari sejarah perekonomian bangsa. Dibandingkan Malaysia dan Thailand, inflasi di Indonesia cenderung lebih tinggi. Di zaman Orde Lama, kebijakan fiskal dan moneter yang tidak prudent (kalau perlu uang, cetak saja) membuat mata uang rupiah kelebihan penawaran yang berdampak lemahnya nilai tukar rupiah terhadap komoditas mata uang asing. Di zaman Orba pun sama, pemerintah masih kesulitan untuk menekan laju inflasi. Tahun 1997, laju inflasi melaju jauh di atas angka pertumbuhan ekonomi. Kondisi ekonomi yang mengecewakan merambah pada sektor sosial politik, membuat kepercayaan rakyat hilang yang berujung tumbangnya rezim.

Di era reformasi, peran BI lebih dioptimalkan sebagai lembaga moneter negara yang mengutamakan penjagaan nilai rupiah. Meski demikian, rata-rata inflasi per tahun masih berada di atas level 5%. Di tahun 2005, inflasi berada pada level tertinggi 17,11%. Prestasi apik diukir pemerintah pada tahun 2009, di bawah Menkeu Sri Mulyani, inflasi berada pada level 2,78%. Sinyal bagus bagi Indonesia karena tidak terganggu krisis ekonomi global.

Di tahun 2010, meningkatnya harga pangan akibat gangguan produksi dan distribusi, khususnya beras dan bumbu membuat inflasi melesat tinggi, inflasi berada pada level 6,96% (yoy). Harga cabai yang mencapai Rp. 150.000 /Kg menjadi fenomena tersendiri. Di bulan Januari 2011, inflasi mencapai 0.89% (month to month) dan inflasi tahunan 7,02% (yoy) dari Januari tahun lalu.

Merangkaknya laju inflasi pada bulan Januari lalu disebabkan tingginya harga bahan pangan (volatile food) yang berada pada level 18,25% (yoy). Sementara itu, dari kelompok administired prices menunjukkan inflasi lebih ringan sebesar 5,21% dan inflasi inti pada level 4,18%.

Dibanding laju pertumbuhan ekonomi dan suku bunga BI (BI Rate), laju inflasi itu lebih tinggi dan membahayakan. Meski sempat bertahan pada bulan Januari 2011, BI akhirnya menaikkan BI Rate menjadi 6,75%, naik 25 basis poin dari angka BI rate sebelumnya 6,5%. Angka BI rate 6,5% terbilang berumur cukup lama, angka tersebut bertahan selama 18 bulan. Kenaikan BI Rate membuat rupiah menguat ke posisi Rp. 9.000 per dolar AS dan mendorong Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ke level 3.496,17 naik 15,34 poin.

Menaikkan BI Rate adalah langkah antisipatif oleh BI untuk mengendalikan ekspektasi inflasi dan menjaga kestabilan nilai rupiah. Naiknya BI Rate diharapkan mampu memberi defense terhadap tekanan harga, terutama harga yang berasal dari sisi permintaan agregat. Sebelumnya, inflasi yang berada di atas suku bunga acuan, membuat penabung menjadi rugi, karena penurunan nilai mata uang lebih besar di atas suku bunga perbankan. Naiknya BI Rate diharapkan membuat masyarakat mau menyimpan dana dan menahan sirkulasi uang dalam pembiayaan konsumtif melalui perbankan agar nilai rupiah terangkat naik. (MDH dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar